Cari Blog Ini

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 27 Mei 2011

kyai hasyim ashari

Posted by jamal 00.03, under , | No comments

                            BIOGRAFI KYAI HSYIM ASHARI

Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan IslamDemak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.

Rabu, 25 Mei 2011

gus dur

Posted by jamal 22.05, under , | No comments

                                      Biografi Lengkap KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur  
   
Add caption
Jakarta, Roabaca.com.- Mantan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau yang akbrab dipanggil Gus Dur Wafat di usia 69 tahun. Gus Dur meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu (30/12) sekitar pukul 18.45 WIB.

Berikut Profile lengkap Gusdur

Nama: Abdurrahman Wahid

Lahir: Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.

Orang Tua: Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).

Istri : Sinta Nuriyah

Anak-anak :
Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari

Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)

Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)


Latar Belakang Keluarga


Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.

Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.

Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.

Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.

Gus Dur kembali ke Jakarta dan mengharapkan ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Hal itu membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
LP3ES kemudian mendirikan majalah yang disebut Prisma, dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.
Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini.
Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid kemudian meneruskan karirnya sebagai jurnalis, dan menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik, dan ia mulai mengembangkan reputasinya sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian, dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya.
Pada tahun 1974 Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas, dan segera mengembangkan reputasi pribadinya. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi guru Kitab Al Hikam.

Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai Dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid mengungguli pekerjaannya dan universitas itu ingin agar Wahid mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi.
Namun kelebihannya menimbulkan ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas, dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek tersebut. Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga berpidato selama ramadhan di depan komunitas muslim di Jombang.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.

Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.

Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.

Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.


Nahdlatul Ulama
Latar belakang keluarga Wahid kemudian segera menjadi berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik, dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU.
Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di Ibu Kota. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat ituGus Dur juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan empat partai Islam, termasuk NU.
Wahid menyebut bahwa pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting, di antaranya adalah Jenderal Benny Moerdani.



Pemilu 1999 dan SU MPR
Pada Juni 1999, PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangi 12 persen suara, sedangkan PDI-P menang dengan raihan 33 persen suara.
Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada SU MPR. Namun PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB.
Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, berisi koalisi partai-partai Islam. Poros Tengah kemudian mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden, dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie, dan Habibie harus mundur dari pemilihan presiden.
Beberapa saat kemudian Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR menyatakan bahwa Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya meraih 313 suara.

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk, dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden.
Setelah meyakinkan Jenderal Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta.
Pada 21 Oktober 1999 Megawati ikut dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Penghargaan

• Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
• Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
• Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
• Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
• Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
• Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
• Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
• Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
• Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
• Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
• Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
• Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 200

mbah wahab chasbulloh

Posted by jamal 21.33, under , | No comments

                         KH. Wahab Chasbullah, Kyai Multikultural

Kyai yang satu ini adalah sosok kyai sejati yang selalu mengayomi dan memberikan kesejukan kepada umat. Kearifan, pengetahuan dan pengalaman hidupnya menjadikannya sebagai sosok yang sangat disegani dan dihormati oleh rakyat Indonesia, khususnya kalangan umat Islam terlebih kalangan warga nahdhiyin. Beliau telah mengukir sejarah yang gemilang dalam meletakkan prinsip-prinsip agama dan kehidupan sebagai kunci dan pegangan hidup bermasyarakat dan bernegara. Berbagai macam prestasi perjuangannya telah diraihnya dengan cemerlang. Perannya di semua lini kehidupan, politik, budaya, agama menjadikannya sebagai kyai multikultural yang menjadi tokoh simbol perjuangan anak bangsa. Pemikiran-pemikirannya selalu dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan solusi dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan, baik persoalan keagamaan maupun kebangsaan. Pengalaman hidupnya di tiga zaman telah membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Mengenal KH. Wahab Chasbullah KH. Wahab lahir pada bulan Maret 1888 M. dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh pondok Tambakberas ini masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang juga berasal dari Jombang, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan KH. Abdussalam. Konon jika diurut ke atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit. Sejak kecil beliau dididik secara langsung oleh ayahnya. Beliau diajari pendidikan agama, seperti membaca al-Qur’an, tasawuf, dsb. Setelah dipandang cukup, KH. Wahab berkelana ke berbagai pesantren untuk berguru, di antaranya di Pesantren Langitan-Tuban, Pesantren Mojosari-Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh, Pesantren Tawangsari-Surabaya, dan Pesantren Bangkalan-Madura di bawah bimbingan langsung Kyai Kholil yang masyhur itu. Oleh Kyai Kholil, Kyai Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng. Di berbagai pesantren inilah KH. Wahab menimba pengetahuan dan pengalaman. Beliau mempelajari kitab-kitab penting keagamaan sampai mahir. Pada usia 27 tahun KH. Wahab meneruskan pendidikannya ke Makkah. Di kota suci itu beliau berguru kepada ulama terkenal diantaranya KH. Machfudz Termas, KH. Muhtarom Banyumas, Syekh Ahmad Chotib Minangkabau, KH. Bakir Yogyakarta, KH. Asya’ri Bawean, Syekh Said al-Yamani dan Syekh Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan pengetahuan keagamaan KH. Wahab. Melihat riwayat pendidikannya, tidak heran jika di kalangan ulama dan para pejuang sebayanya, KH. Wahab tampak paling menonjol di segi wawasan pemikiran dan pengetahuannya. Seperti kebiasaan pola hidup di pesantren, KH. Wahab pun hidup dengan sangat sederhana. Untuk memenuhi nafkah keluarganya, KH. Wahab berdagang apa saja yang penting halal. Di antaranya beliau pernah berdagang nila dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Karena banyaknya bidang usaha yang digeluti, beliau mempercayakan pengelolalaan usahanya kepada orang lain dengan cara bagi hasil. KH. Wahab selalu dilukiskan sebagai orang yang energik, penuh semangat, ramah dan berwibawa. Pancaran sinar wajahnya menyimpan aura kelembutan dan kasih sayang. Selain pemurah kyai yang satu ini sulit untuk marah dan dendam. “Meskipun orangnya kecil, beliau tampak selalu bersikap gagah,” kata KH Saifuddin Zuhri, salah seorang pengagumnya. Selanjutnya KH. Saifuddin Zuhri juga melukiskan bahwa KH. Wahab adalah ulama yang mempunyai pengetahuan sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba baru dan selalu mengandung nilai-nilai kebenaran. KH. Wahab bukan termasuk golongan ulama “klise”. Tindak tanduk dan tutur katanya selalu orisinal yang keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Beliau tidak pernah merasa canggung saat berbicara di muka ribuan manusia. Beliau tidak bangga bila berbicara di hadapan orang banyak, begitu juga tidak pernah kecewa bila yang mengerumuni sedikit orangnya. Selain karena kecerdasan otaknya, retorika penyampaiannya juga menarik sehingga setiap uraian kata-katanya dapat didengar dan dicerna dengan baik dan tidak membosankan. Bagi warga NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia, KH. Wahab tidak sekadar tokoh dan pendiri, melainkan juga sebagai simbol pemersatu, yang menarik juga adalah tradisi intelektualnya di kalangan ulama pesantren. Diceritakan bahwa KH. Wahab mendirikan, memelihara dan membesarkan NU dengan ilmunya, baru kemudian dengan harta dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut KH. Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud kelompok kecil yang tidak diperhitungkan sampai menjadi jam’iyah Islam terbesar di Indonesia. Agak sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok KH. Wahab Chasbullah. Meminjam istilah KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Wahab dijuluki sebagai “kyai merdeka”. Sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini memang berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling. “Bukan “pak turut” (selalu ikut-ikutan)”, istilah KH. Saifuddin Zuhri. Bahkan sampai cara berbicara, berjalan dan berpakaian pun beliau tidak meniru orang lain. Kyai nyentrik ini mempunyai ciri khas dalam berpakaian, selalu memakai surban. Hingga suatu ketika menurut cerita KH. Saifudin Zuhri saat KH. Wahab berbicara dalam sidang parlemen sebelum naik ke podium beliau terlebih dahulu membetulkan letak serbannya. Pada saat itu ada orang nyeletuk, “Tanpa serban kenapa sih?”. Sambil menunjuk serbannya, KH. Wahab kontan menjawab, “Ini Serban pangeran Diponegoro!, beliau, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar semuanya pakai serban”. Mendengar perkataannya seluruh peserta sidang tertawa semuanya sehingga ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen. Kiai Penuh Prestasi Prestasi-Prestasi KH. Wahab Chasbullah sangat banyak sekali. Seperti mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan bersama KH. Mas Mansur, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, memprakarsai berdirinya NU. Di bidang jurnalistik, dia merintis majalah Suara Nahdhatul Ulama yang terbit setengah bulan sekali. Beliau memandang, bahwa dengan majalah gagasan-gagasan NU dapat tersebar secara lebih efektif dan efisien. Sebelumnya gagasan NU hanya dijalankan melalui dakwah dari panggung ke panggung dan pengajaran di pesantren. Selain itu beliau bersama dengan tokoh NU lainnya membeli gedung di Jalan Sasak 23 Surabaya sebagai pusat aktivitas NU. Berangkat dari gagasn KH. Wahab di bidang jurnalistik ini kemudian menyusul terbitnya majalah-malajah lain, seperti Suluh Nahdlatul Ulama dipimpin Umar Burhan, Terompet Ansor dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah Penggugah yang berbahasa Jawa dipimpin oleh K. Raden Iskandar yang kemudian digantikan Saifuddin Zuhri. Dari tradisi jurnalistik ini, NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Junaidi. KH. Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan yang baik dalam kancah politik Islam. Beberapa prestasinya adalah seperti pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan Masyumi. Lewat pergerakan inilah KH. Wahab terlibat dengan tokoh-tokoh terkemuka, seperti K. Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin, dsb. Tidak salah lagi, jika KH. Wahab dikategorikan salah seorang yang mempunyai andil terbesar dalam meletakkan dasar-dasar organisasi NU. Hampir di semua sektor beliau menggagas ide-ide yang cemerlang untuk perkembangan NU mulai dari tradisi intelektual, jurnalistik, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah NU, sampai siasat bertempur di medan laga. Karena beliau mempunyai prinsip, “kalau kita mau keras harus punya keris.” Artinya kalau ingin besar seseorang harus mempunyai kekuatan, baik kekuatan politik, militer maupun batin. Selain prestasi-prestasi yang tersebut di atas perlu dicatat juga dalam diri KH. Wahab adalah keaktifannya dalam gerakan-gerakan melawan penjajah untuk membebaskan negara ini dari kungkungan penjajajah seperti dibuktikannya dalam Laskar Hizbullah pimpinan KH. Zainal Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH. Masykur dan Barisan Kyai pimpinan beliau sendiri untuk berperang melawan penjajah. Prestasi gemilang lainnya adalah keberhasilannya memperjuangkan kepentingan kaum sunni untuk mendapat perlindungan dan kebebasan di negara Arab Saudi dalam Kongres Dunia Islam di Mekkah. Pada saat itu Raja Saud Arab Saudi melarang berkembangnya faham sunni di negara kekuasaannya. Akan tetapi karena usulan KH. Wahab beserta tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam Komite Hijaz, diantaranya K. Bisri Sansuri, K. Ridwan Semarang, KH. Raden Asnawi Kudus, K. Nawawi Pasuruan, K. Nachrowi Malang dan K. Alwi Abdul Aziz Surabaya akhirnya Raja Saud membebaskan faham sunni hidup dan berkembang di Mekkah. Wafatnya KH. Wahab Chasbullah Sebelum wafat KH. Wahab masih sempat menghadiri Muktamar NU ke-25 di Surabaya dan terpilih sebagai Ro’is ‘Am PBNU. Pun juga masih bisa memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Menurutnya menghadiri Muktamar NU dan memberikan suara pada pemilu adalah bagian dari salah satu perjuangan, karena perjuangan adalah bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan. Tetapi empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, kyai yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil kehadirat Allah swt. Beliau wafat pada 29 Desember 1971 di kediamannya yang sederhana di kompleks pesantren Tambakberas, Jombang. Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rois ‘Am, KH. Wahab mengharapkan supaya NU tetap menemukan arah jalannya dengan selalu menyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah swt. sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal- Jama’ah. Beliau juga mengingatkan agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926 atau lebih dikenal dengan khittah NU 1926. Demikianlah sosok KH. Wahab Chasbullah, kyai yang diberkati memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan (orde lama) dan zaman pembangunan (Orde Baru). Maka tak heran jika pengalaman dan sejarah hidupnya selalu dikenang sepanjang masa karena jasanya yang tidak sedikit. Dan masih banyak teladan yang ditinggalkannya untuk dijadikan ibrah bagi generasi penerusnya. Semoga kita bisa meniru dan meneruskan perjuangan-perjuangannya, amiin….

CO.CC:Free Domain
Free Website Hosting

Tags

Blog Archive